Perlu kala lima tahun dan lebih dahulu berkeliling ke negeri-negeri asing sebelum alhasil aku mengamati dengan mata kepala sendiri, landscape yang agung dan megah ini adanya di belakang tempat tinggal kami.
Titik Ayah menggunakan masa remajanya di kota Malang, sebagian kali ke Bromo, dan dulu mendaki gunung Welirang dan Arjuna. Tetapi semenjak kita menikah, belum sekali malah Titik Ayah punya niatan mempunyai aku jalan-jalan ke Bromo, yang notabene dekat sekali dengan Malang. Dikala kita pemindahan berasal dari Australia bulan September tahun lalu, aku sedikit memaksa Titik Ayah untuk mengajak aku dan buah hati-buah hati berkunjung ke Bromo. https://bandarwisata.co.id/paket-wisata-bromo.html
Agaknya aku sedang mujur. Seorang sahabat yang rumahnya di Tumpang (30 menit ke arah utara Malang), menawarkan akan \’memandu\’ kami. Kebetulan tetangganya menyewakan Hard Top dan kerap memandu turis ke Bromo. Klop lah. Aku lantas mengiyakan dan setuju berangkat seminggu kemudian, sebelum musim hujan jadi datang.
Bromo dapat ditempuh berasal dari kota Probolinggo (trek paling kondang dengan jalan paling mulus), Pasuruan dan Malang. Dapat terhitung berasal dari Lumajang (trek paling tak populer). Jika kita ikut serta tur atau menyewa kendaraan beroda empat dan sopir berasal dari Surabaya, lazimnya akan dilewatkan trek Probolinggo ini, yang dapat dilewati oleh kendaraan beroda empat umum (MPV), tak harus 4 WD. Nanti hingga Cemoro Lawang, kita harus menyewa Hard Top (Jeep) untuk turun ke lautan pasir. Pilihan lain merupakan naik ojek atau kuda.
Beritanya, trek berasal dari Malang merupakan trek yang paling baik panoramanya, meski jalannya tidak cukup baik (baca: tak tersedia jalan aspal!). Jalanan yang akan kita lewati merupakan: Malang – Tumpang – Gubug Klakah – Ngadas – Jemplang – Padang Savana – Lautan Pasir – Cemoro Lawang – Penanjakan. Untuk lebih jelasnya dapat diamati di peta yang aku download berasal dari situs legal Bromo Tengger Semeru National Park.
Kami bermalam di tempat tinggal sahabat di Tumpang dan berangkat kurang lebih pukul 3 dini hari. The precils yang masih tidur lantas aku angkut ke kendaraan beroda empat. Hard top yang kita sewa dapat muat untuk empat dewasa, tiga precils plus sopir. Pak Wawan, sopir kami, menyewakan hard top ini seharga Rp 700 – 800 ribu per hari, telah terhitung bensin. Untuk kita tentu gunakan harga sahabat, hehe.
Hingga GubugKlakah trek masih lumayan mulus. Namun menuju desa Ngadas, jalan jadi mendaki dan mengocok perut. Little A aman-aman saja di pangkuan aku, kala Big A berupaya melanjutkan tidurnya. Terkadang mata aku terbuka mengamati bulan penuh yang meniru, dan ngarai yang terpampang riil di sisi kendaraan beroda empat kami. Sambil terkantuk, aku ingat kendaraan beroda empat kita menelusuri trek sempit berbatu di desa Ngadas, yang berlokasi di ketinggian 2100 dpl. Konon, Ngadas ini yakni desa tertinggi di Jawa Timur. Sesudah Ngadas, kita hingga di Jemplang, persimpangan jalan menuju Bromo dan Ranupani. Di sini banyak pemuda yang menyewakan motor trail untuk dipacu mendaki gunung dan via lautan pasir. Jalan berasal dari Jemplang menuju padang savana dan lautan pasir serius Innalillahi, tak mungkin dilewati oleh kendaraan beroda empat (atau sepeda motor) umum. Mulanya jalan ini sempit dan berbatu-batu, kemudian berubah dengan lautan pasir yang dapat membelit ban kendaraan tanpa ampun. Via lautan pasir, Pak Wawan kian hati-hati menyetir. Aku mengakses mata lebar-lebar mengamati pegunungan membumbung yang mengepung jalan kita di sisi kiri dan kanan. Bulan masih loyal meniru di belakang. Aku tak tabah mengamati panorama ini dikala sang surya telah bercahaya.
Sekitar jam 4.30 kita tiba di Cemoro Lawang yang hiruk pikuk. Hard top kita merayap menuju lapangan parkir di Penanjakan, look out untuk mengamati sang surya terbit. The Precils survived. Namun bau solar yang menguar berasal dari puluhan kendaraan membikin aku berkeinginan muntah.
Cuaca bulan September lumayan dingin, melainkan tak sedingin yang aku bayangkan, mungkin kurang lebih 15 derajat celcius. Kami lumayan mengaplikasikan pakaian didalam termal, pakaian umum, t-shirt kaki dan sweater. Tidak lupa syal dan beannie. Turun berasal dari kendaraan beroda empat, kita lantas disambut penjual sarung tangan, syal dan kupluk. Sambil membendung perut yang bergejolak, aku pakai cengiran lebar supaya tak diganggu. Titik Ayah membelikan sarung tangan untuk Big A. Sementara Little A bagus-bagus saja dengan kostum yang ia kenakan.
Barang penting yang semestinya dibawa dikala berkunjung ke Bromo merupakan masker, yang untungnya telah disediakan oleh sahabat kami. Debu di Bromo ini luar umum banyaknya, terpenting terhadap akhir musim kemarau. Dari daerah parkir, kita berjalan sedikit mendaki ke vantage point di Penanjakan. Sabtu pagi ini ramainya luar umum. Menjadi target liburan yang kondang untuk berwisata, mungkin Bromo sesungguhnya seramai ini tiap-tiap akhir minggu. Kalau-titik terbaik sepertinya telah diambil orang. Jika kita paksakan konsisten di lokasi itu, mungkin cuma akan mengamati orang-orang yang saling memfoto dengan kamera dan gadget mereka. Bukannya aku tak berkeinginan sharing estetika sunrise Bromo yang tenar ini, melainkan aku benar-benar terganggu dengan tingkah polah sebagian pengunjung yang benar-benar bising. Mereka ngakak terlalu keras dan berteriak-teriak. Memporak porandakan bayang-bayang aku akan sunrise romantis yang dapat kita menikmati dengan khusyuk. Mungkin dengan secangkir kopi yang baru diseduh. Aku menghibur diri dengan mengamati ke sisi gunung Bromo, daerah bulan yang bersiap undur diri. Di bawah sana, tampak kerlip lampu barisan kendaraan yang merayap. Lain kali, kita sebaiknya ke sini di luar akhir minggu dan musim tamasya.